Ahlussunnah Wal Jama'ah "ala Thariqah Nahdlatul Ulama' (NU)

Pada hakikatnya Ahl Al-Sunnah Wa Al-Jama’ah adalah ajaran Islam yang sebagaimana diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah SAW beserta sahabat-sahabat-Nya .
Ketika Rasulullah SAW menerangkan bahwa ummat-nya akan bergolong-golong menjadi 73 golongan, Beliau menegaskan bahwa yang benar dan akan selamat dari sekian banyak golongan itu adalah Ahl Al-Sunnah Wa Al-Jama’ah. Atas pertanyaaan para sahabat, siapa golongan Assunnah wal Jamaah itu, Nabi pun menjawab dengan sabda-Nya:
مَاأنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِى
“Yang satu itu adalah orang yang berpegangan dengan I’tiqadku dan I’tiqad para sahabatku”
Pemaknaan tentang Ahl Al-Sunnah Wa Al-Jama’ah memang terjadi perbedaan pendapat diantara para ulama’. Tetapi muassies Nahdlatul Ulama Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari memberikan gambaran bahwa Ahl Al-Sunnah Wa Al-Jama’ah adalah I’tiqad Nabi dan sahabat-Nya yang termaktub dalam kitab suci Al-Quran dan Sunnah Rasul secara terpencar-pencar, belum tersusun secara rapi dan teratur. Dalam masalah aqidah faham ini menganut rumusan dua orang ulama Ushuluddin, yakni Syaikh Abu Hasan Al Asy’ary dan Syaikh Abu Mansur Al-Maturidhi (wafat tahun 333 H. di desa Maturidi Samarkan Asia Tengah) dirumuskan dan disusun menjadi satu.
Dalam menjalankan ritual agama (syari’at) faham ini mengikuti salah satu dari madzhab empat, yakni: Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’I, Imam Hanbali. Sedang untuk masalah tasawwuf mengikuti Imam Abu Hamid Al-Ghozali dan Imam Junaid Al-Baghdadi.
Adapun metode berfikir yang dijadikan dasar pijakan dalam penetapan hukum Ahl Al-Sunnah Wa Al-Jama’ah itu dibagi menjadi tiga katagori utama: kebijaksanaan, keluwesan dan moderatisme.
1. Kebijaksanaan
Istilah kebijaksanaan ini digunakan dalam pengertian yang netral, yaitu pengambilan tindakan yang kondusif bagi upaya memperoleh manfaat atau menghindari kerugian.
Setidaknya terdapat tiga kaidah fiqih yang biasa dikutip sehubungan dengan upaya memperoleh manfaat atau menghindari kerugian:
a. Dar’al-mafasid muqoddam’ala jalbi al-masalih, artinya menghindari bahaya diutamakan daripada melaksanakan kebaikan.
b. Akhoffud-daraini, maksudnya apabila dihadapkan pada dua hal bahaya atau lebih, maka pilih salah satu yang resikonya paling kecil.
c. Bahaya tidak bisa dihilangkan dengan bahaya lain.
Anjuran-anjuran untuk menghindari bahaya seringkali dikaitkan dengan dua hal yang lain yang lebih luas, yaitu maslahat dan amar ma’ruf nahi munkar. Maslahat (secara harfiah berarti kebaikan atau manfaat) merupakan suatu konsep hukum yang berkaitan dengan kepentingan atau kesejahteraan masyarakat. Menurut pandangan kaum tradisionalis maslahah berarti mencari kebaikan atau manfaat dan mencegah mafsadah.
Para fuqaha’ (ahli jurisprudensi Islam), memetakan maqashidu al-syari’ah ke dalam lima hal yang bersifat universal – yaitu, jaminan atas kebebasan beragama (hifdz al-dien), jaminan atas kehidupan (hifdz al-nafs), jaminan atas properti dan keberlangsungan keturunan (hifdz Al-maal wa al-nasl), jaminan atas kesempatan berekspresi dan berkreasi (hifdz al-aql), dan jaminan atas profesi (hifdz al-‘irdl) – dan ini disebut maslahat.
Melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar merupakan kewajiban bagi setiap muslim. Tetapi para ahli hukum berbeda pendapat dalam penerapannya. Sebagian orang berpendapat bahwa semua cara, termasuk kekerasan dan memaksa, sah untuk dilakukan. Sedangkan yang lain berpendapat bahwa cara-cara persuasif seperti membujuk dan memberi contoh pribadi sudah cukup. Pendapat yang terakhir ini lebih disukai oleh golongan Ahl Al-Sunnah Wa Al-Jama’ah.
Di samping kewajiban pribadi untuk memberikan saran kepada orang lain, NU juga berpendirian bahwa amar ma’ruf nahi munkar dapat dilaksanakan melalui partisipasi dalam semua aspek dan bidang kegiatan organisasi termasuk politik-pemerintahan (legislatif, eksekutif, yudikatif).
2. Keluwesan
Ciri kedua dari pemikiran Ahl Al-Sunnah Wa Al-Jama’ah adalah sikap luwes. Keluwesan dalam pengambilan keputusan itu merupakan sebagian dari wujud penerapan kaidah fikih mengenai upaya meminimalkan resiko. Dalam hal ini paling tidak ada dua kaidah fikih yang mengantarkan pada sikap Ahl Al-Sunnah Wa Al-Jama’ah:
a. Dlarurat menghalalkan perkara yang semula diharamkan .
b. Maa laa yudraku kulluhu laa yutraku ba’duhu, apa yang tidak tercapai 100%, jangan ditinggal yang sebagian.
Sikap luwes ini tercermin dari apa yang dinasehatkan oleh nabi Muhammad SAW bahwa imam shalat yang bijaksana adalah imam yang diantara jama’ahnya terdapat orang tua dan golongan lemah, tidak boleh membebani mereka dengan jumlah rakaat yang banyak dan bacaan surat yang panjang.
3. Moderatisme
Moderatisme adalah suatu sikap untuk menghindarkan dari tindakan ekstrim dan sikap hati-hati dalam bertindak dan menyatakan pendapat. Perilaku moderat (kecenderungan untuk memilih pendekatan jalan tengah), hal ini banyak ditemukan dalam pemikiran Islam maupun ciri ideal budaya jawa.
Ahmad Siddiq menggambarkan sikap ini dengan menggunakan istilah tawassuth yang didefinisikan sebagai “jalan tengah di antara dua sikap yang ekstrim” , hal ini didasari firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah 143

Artinya, “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu” (QS. Al-Baqarah: 143) .
Prinsip dan karakter Tawassuth itu termanifestasikan pada bidang ajaran agama Islam. Sebagai pembuktian prinsip tawassuth itu adalah:
1. Bidang Aqidah:
a.Menjaga keseimbangan dalam penggunaan dalil Aqli (argumentasi) dengan Naqli (nash Al-Qur’an dan Sunnah), dengan menempatkan Aqli dibawah Naqli.
b.Memurnikan aqidah dari campuran ideologi luar Islam.
c.Tidak mudah memvonis musyrik, kufur dan sebagainya kepada golongan yang belum bisa memurnikan Aqidah.
2. Bidang syari’ah:
a.Berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, dengan menggunakan methode dan sistem yang bisa dipertanggung jawabkan dan melalui jalur semestinya.
b.Bila menemukan masalah yang sudah jelas ada dalil sharih dan qoth’I tidak boleh ada pendapat akal.
c.Bila dihadapkan pada masalah Dhanniyah (kurang jelas dan tidak pasti), maka dapat ditoleransi adanya perbedaan pandapat selama tidak bertentangan dengan prinsip agama.
3. Bidang Tashawwuf:
a.Menganjurkan untuk memperdalam penghayatan ajaran Islam, dengan Riyadhah dan mujahadah menurut hukum dan ajaran Islam.
b.Mencegah sikap berlebih-lebihan yang bisa menjerumuskan orang pada penyelewengan aqidah dan syari’ah.
c.Berpedoman pada akhlak yang luhur dengan memposisikan diri diantar dua sikap yang mengujung (tatharuf, ekstrimis).
Wujud dari sikap tawassuth dalam Ahl Al-Sunnah Wa Al-Jama’ah (NU) dalam memandang tradisi (budaya) dan modernisme adalah menerima kebudayaan lokal atau modernisme sekaligus memodifikasinya menjadi budaya baru yang dapat diterima oleh masyarakat dan selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai Syariat Islam. Sikap demikian sesuai dengan kaidah fikih:
اَلْمُحَافَظَةُعلَىالْقَدِيْمِ الصَّالِحِ وَالأحْذ بِالجَدِ يْدِ الأصْلَحْ
Artinya,“menjaga dan meneruskan tradisi lama yang baik dan menerima tradisi baru (modernitas) yang lebih baik”.
Hal inilah yang ditunjukkan oleh gerakan dakwah yang dilakukan oleh Walisongo dalam memasukkan unsur-unsur Islam ke dalam budaya lokal. Walisongo menyebarkab Islam tidak dengan pendekatan halal-haram, melainkan dengan memberi spirit di setiap perayaan adat yang laksanakan oleh masyarakat. Sehingga Islam bercampur tradisi dan adat-istiadat masyarakat secara subtansi. Kondisi ini yang kemudian memudahkan penyebaran Islam ke segala dimensi kehidupan masyarakat.
Kaum Islam modernis mengangap bahwa Nahdlatul Ulama sebagai organisasi masyarakat Islam terbesar di Indonesia tidak bisa memberikan kontribusi positif bagi terwujudnya formalisasi syariat Islam di Indonesia. Dalam masalah ini NU memandang bahwa konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila sudah final dan ini harus dipertahankan eksistensinya. Pemerintah sebagai penguasa negara yang sah harus ditempatkan pada kedudukan yang terhormat dan wajib ditaati selama tidak menyeleweng dan atau memerintah kearah yang bertentangan dengan hukum dan ketentuan Allah.
Sikap tawassuth ini mengandung tiga unsur, yaitu ; tawazzun, I’tidal dan tasammuh. At-Tawazzun berarti sikap seimbang, tidak berat sebelah, tidak melebihkan salah satu sisi mengurangi sisi yang lain . Sikap demikian ini sesuai dengan ayat Al-Qur’an Surat Al-Hadiid ayat 25:

Artinya, “Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan”.
Al-I’tidal, yaitu sikap adil, tegak lurus, tidak condong ke kanan-kananan atau ke kiri-kirian. Sikap ini diambil dari firman Allah surat Al-Maidah ayat 9 :

Artinya, “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Sedangkan tasammuh (toleransi) adalah sikap keberagamaan dan kemasyarakatan yang menerima kehidupan sebagai sesuatu yang beragam (plural). Keberagaman iu menuntut sikap untuk menerima perbedaan pendapat dan menghargainya secara toleran. Toleransi yang tetap diimbangi dengan keteguhan pendirian dan sikap.
Sikap tasammuh ini hendaklah terwujudkan dalam pergaulan (mu’asyarah) antar golongan, hal ini dapat dilakukan dengan:
a.Mengakui karakter tabiat manusia yang senang berkelompok dengan unsur pengikat masing-masing.
b.Pergaulan antar golongan didasarkan atas saling menghormati dan menghargai.
c.Permusuhan hanya boleh dilakukan terhadap golongan yang nyata-nyata memusuhi Islam dan ummat Islam.
Sikap moderat yang diteladankan ulama Ahl Al-Sunnah Wa Al-Jama’ah itu tercermin oleh para Walisongo dalam upaya penyebaran Islam di Nusantara. Sepanjang dakwah Walisongo, ditemukan sebuah upaya untuk mencari jalan tengah antara ajaran Islam seperti tertera dalam nash dengan kondisi riil yang ada di tengah-tengah masyarakat. Sikap ini menghadirkan wajah Islam yang damai dan toleran, bukan Islam yang garang dan menghancurkan (destruktif).

Komentar

Postingan Populer